Oleh: Dr Yusof al-Qaradhawi
(Petikan Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam Antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal)
Di sini, saya ingin mengawali dengan menjelaskan tentang sikap madrasah pertama, yaitu madrasah yang memegang teks-¬teks partikular dengan melupakan maksud-maksud syariat yang global. Madrasah tersebut saya namakan dengan "zhahiriyyah baru." Mereka terdiri dari berbagai golongan. Di antara mereka ada yang lebih dominan kepada sifat agama(1), dan di antara mereka ada yang lebih dominan kepada sifat politik(2). Meskipun mereka semua sama dalam hal literalisme pemahaman. Sebagian mereka ada yang benar-benar tenggelam ke dalam zhahiriyyah, dan sebagian lagi ada yang masuk tetapi tidak sampai tenggelam.
Tidak diragukan lagi, kejumudan dan kekerasan mereka - meskipun banyak di antara mereka yang ikhlas dan taat beribadah¬ -- sangat membahayakan dakwah dan penerapan syariat Islam. Mereka menjelekkan gambaran Islam yang indah di hadapan para cendekiawan kontemporer dan dunia yang maju. Sebagaimana hal itu tampak dengan jelas dari sikap mereka terhadap permasalahan wanita, keluarga, kebudayaan, pendidikan, ekonomi, politik, administrasi, kebebasan, hak asasi manusia, dan masalah dialog dengan yang lain. Terutama, dalam hubungan intemasional dan hubungan dengan non-muslim.
Dalam permasalahan wanita, mereka melarang wanita untuk bekerja. Meskipun dia atau keluarganya sangat membutuhkan terhadap pekerjaan wanita tersebut. Mereka ingin agar wanita diam di rumah. Mereka menyamakan istri Nabi dengan istri-istri muslim lainnya. Padahal, Allah telah berfirman, "Hai istri-istri Nabi. kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain." (AI.Ahzab: 32)
Mereka tidak membolehkan wanita untuk memberikan kesaksian dalam pemilihan umum dengan memberikan suara antara "ya" dan "tidak." Kita kesampingkan dulu masalah pencalonan wanita di dewan permusyawaratan, dewan perwakilan, ataupun dewan daerah.
Mereka menyeru agar kita mengambil jizyah dari orang-orang Nasrani dan yang sejenisnya dengan nama dan contoh jizyah itu sendiri. Kita tidak boleh memulai mengucapkan salam kepada mereka. Jika bertemu dengan mereka di jalan, kita harus menyeret mereka ke tempat yang paling sempit. Serta, kita harus menerapkan hal-hal yang disebutkan oleh para ahli fikih secara literal pada zaman dahulu yang ada kaitannya dengan ahli dzimmah. Seperti, keharusan mereka memakai baju yang berbeda dengan umat lslam.
Mereka menolak pendapat Al-Mawardi dan yang lainnya dalam "Al.Ahkam As-Sulthaniyyah" tentang bolehnya ahli dzimmah menjabat sebagai menteri. Bahkan, mereka tidak menerima jika ahli dzimmah dicalonkan untuk dewan perwakilan.
Mereka pun menolak pembatasan masa jabatan kepala negara. Karena, kepala negara harus memegang jabatan seumur hidup. Mereka menyebut orang-orang yang membolehkan pembatasan masa jabatan sebagai orang-orang yang mengikuti orang-orang kafir!
Mereka menolak mengambil hal-hal yang datang dari luar umat lslam. Mereka menganggap hal itu sebagai hal baru di dalam agama. Karena, setiap hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah api neraka.
Untuk itu, mereka melihat demokrasi sebagai kemungkaran yang harus diperangi. Mengambil keputusan dengan suara mayoritas adalah bid'ah asing dan imporan.
Demikian pula membentuk partai atau jamaah, menurut mereka termasuk ke dalam hadits, "Barangsiapa yang mengadakan perkara baru di dalam urusan -agama- kita, ia adalah tertolak.(3)"
Mereka lebih memperhatikan bentuk daripada isi. Keinginan mereka yang paling besar adalah agar laki-laki memanjangkan jenggot dan memendekkan celana, serta agar wanita memakai cadar. Mereka membesar-besarkan adab-adab tersebut seolah-seolah ia adalah rukun lslam.
Di dalam ibadah, mereka mangambil yang lebih susah dan lebih keras. Mereka menolak mengambil uang di dalam zakat fitrah, memasukkan hisab ke dalam shaum -- tidak dalam afirmasi ataupun negasi- menolak melempar jumrah sebelum matahari tergelincir, mewajibkan mabit di Mina pada hari-hari tasyrik, meskipun sesaknya orang yang beribadah haji dan sempitnya tempat yang tersedia.
Mereka menolak pembaruan di dalam agama, ijtihad di dalam fikih, menciptakan metode-metode baru dalam dakwah, dan ingin agar kehidupan tampil sesuai dengan zaman dahulu, dalam bentuk ataupun isi. Serta, pemikiran-pemikiran dan pemahaman¬-pemahaman lain yang akan membuat sempit zaman sekarang. Terutama, dalam bab siyasah syar'iyyah. Pemikiran-pemikiran mereka telah saya bantah dalam lebih satu buku. Terutama buku "Min Fiqh Ad-Daulah fi Al-Islam," "Fatawa Mu' ashirah," serta buku¬-buku saya yang bertemakan panduan bagi kebangkitan Islam, terutama buku "Ash-Shahwah Al-Islamiyyah min Al-Murahaqah ila Ar-Rusyd," dan "Khithabuna Al-Islami fi Ashr Al-Aulamah."
Di sini saya akan menjelaskan kekeliruan madrasah ini. Karena, madrasah ini tidak memiliki pemahaman yang tepat tentang Allah dan Rasulullah, sebagaimana yang seharusnya dilakukan.
Orang-orang dari madrasah ini telah mengambil madzhab zhahiri, Meskipun mereka tidak menamakannya dengan zhahiri atau mengaku bahwa mereka telah menirunya. Namun, mereka mengambil kejumudan lafazh-lafazh yang literal, melupakan hikmah dan ta'lil terhadap teks dari madzhab tersebut.
Mereka lupa bahwa umat Islam telah menolak madzhab azh¬zhahiriyyah. Tidak sebagaimana madzhab-madzhab lain, saya melihat bahwa madzhab zhahiriyyah tidak memiliki pengikut. Sebagaimana ulama pun mengingkari madzhab ini.
sumber: http://al-ahkam.net/home/index.php?option=com_content&view=article&id=5435%3Amadrasah-zhahiriyyah-baru-fikih-teks-yang-jauh-dari-maksud-maksud-syariat-&catid=69%3Aartikel
No comments:
Post a Comment